Mengurai Proses Meaning dan Purpose dalam Karakter Ryougi Shiki: Perspektif Eksistensial dan Psikologi




Karakter Ryougi Shiki dari Kara no Kyoukai merepresentasikan perjalanan filosofis yang kompleks, menggabungkan pencarian makna hidup (meaning) dan penemuan tujuan hidup (purpose). Melalui konflik internal dan eksternal, Shiki menunjukkan bagaimana manusia bisa bergerak dari kehampaan eksistensial menuju kebermaknaan. Dalam tulisan ini, kita akan mendalami proses tersebut dengan dasar keilmuan dari teori eksistensial modern, logoterapi Viktor Frankl, dan kerangka narasi karakter dinamis.

1. Awal Perjalanan: Crisis of Meaning

Di awal cerita, Shiki berada dalam fase meaning-only, di mana hidupnya didominasi oleh pertanyaan eksistensial dan kehilangan arah. Ia memiliki kepribadian ganda (Shiki dan SHIKI), yang masing-masing merepresentasikan dua sisi ekstrem dari dirinya:

  • Shiki: Rasional, dingin, dan terkendali.
  • SHIKI: Impulsif dan penuh hasrat destruktif.

Namun, kecelakaan fatal menyebabkan kepribadian SHIKI menghilang, meninggalkan Shiki dalam kehampaan eksistensial. Dalam perspektif logoterapi Viktor Frankl, ini mencerminkan kondisi existential vacuum—kehilangan makna hidup akibat trauma atau perubahan besar. Frankl menekankan bahwa manusia akan selalu mencari makna, meskipun melalui penderitaan (Frankl, 2006).

Dalam konteks ini, Shiki belum memiliki tujuan yang jelas, tetapi ia mulai merenungkan makna keberadaannya—sebuah fase di mana ia hanya mencoba "berada" di tengah kehampaan.

2. Pergeseran ke Purpose melalui Hubungan dan Tindakan

Kunci transisi Shiki dari meaning-only ke integrasi dengan purpose adalah hubungannya dengan Mikiya Kokutou. Hubungan ini memberikan fondasi emosional yang stabil bagi Shiki untuk mulai memahami dirinya. Mikiya menerima Shiki tanpa syarat, bahkan dengan sisi gelapnya.

Menurut Self-Determination Theory (Ryan & Deci, 2000), hubungan interpersonal yang positif memenuhi kebutuhan manusia akan relatedness—koneksi yang mendalam dengan orang lain, yang menjadi dasar untuk membangun makna dan tujuan hidup.

Shiki juga mulai menemukan tujuan hidupnya ketika ia menerima Mystic Eyes of Death Perception. Kemampuan ini memberinya alat untuk bertindak dalam dunia nyata, menghadapi ancaman supernatural, dan melindungi orang lain. Dalam kerangka logoterapi, Frankl menjelaskan bahwa makna hidup sering kali ditemukan melalui tindakan bermakna yang melibatkan kontribusi kepada dunia atau orang lain.

3. Integrasi Purpose dan Meaning: Harmoni Diri

Di akhir cerita, Shiki berhasil mengintegrasikan meaning dan purpose, yang terlihat melalui penerimaannya terhadap diri sendiri, baik sisi rasional maupun destruktifnya. Dalam perspektif Jean-Paul Sartre, ini adalah bentuk autentisitas (authentic existence), di mana seseorang menerima tanggung jawab penuh atas keberadaan dan tindakannya (Sartre, 1943).

Selain itu, pengalaman Shiki juga mencerminkan filsafat Albert Camus tentang absurdisme. Camus berpendapat bahwa meskipun hidup tidak memiliki makna bawaan, manusia dapat menciptakan makna melalui pemberontakan terhadap kehampaan. Shiki, melalui perjuangan melawan kekosongan identitasnya, menciptakan makna hidupnya sendiri dengan menjadi pelindung dunia supernatural.

Kesimpulan: Evolusi Shiki Ryougi

Perjalanan Shiki Ryougi adalah perjalanan dari krisis meaning menuju integrasi purpose dan meaning. Ia dimulai dari kehampaan eksistensial, menemukan makna melalui hubungan interpersonal, dan akhirnya menciptakan tujuan melalui tindakan bermakna.

Shiki adalah contoh dari dinamika karakter yang kompleks, di mana psikologi eksistensial dan teori narasi saling melengkapi untuk membangun karakter yang mendalam. Perjuangan Shiki adalah refleksi dari perjuangan manusia secara universal: menemukan makna dan tujuan di tengah absurditas dunia.

Referensi:

  1. Frankl, V. E. (2006). Man's Search for Meaning. Beacon Press.
  2. Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68–78.
  3. Sartre, J.-P. (1943). Being and Nothingness. Gallimard.
  4. Camus, A. (1942). The Myth of Sisyphus. Gallimard.

Komentar

Postingan Populer